Seperti telah kita ketahui krisis keuangan global yang terjadi pada beberapa waktu lalu telah benar-benar memerosotkan perikehidupan manusia di jagat raya ini. Krisis bermula dari krisis perumahan (subprime mortage) di Amerika Serikat (AS) sejak Juli 2007 dan berakumulasi pada tanggal 15 September 2008 dengan kebangkrutan Lehman Brothers. Krisis kebangkrutan Lehman Brothers bisa dikatakan sebagai tsunami dalam perekonomian AS dan mempunyai efek domino melanda perekonomian negara lain. Krisis keuangan global yang mengerikan Kasus yang sedang ramai dibicarakan sekarang ini berkaitan dengan pemberian bantuan (bailout) pemerintah terhadap Bank Century yang menelan dana sebesar Rp 6,7 triliun rupiah dapat dikaitkan dengan kejadian krisis keuangan dan ekonomi global. Masalah tepat- tidaknya bantuan tersebut berkaitan dengan efek berganda dampak sistemik yang muncul akibat kejatuhan suatu lembaga keuangan. Pengaruh kumulatif lainnya dapat menyeret kebangkrutan berbagai pelaku ekonomi, yang tentunya akan membahayakan perekonomian maupun kestabilan nasional. Sebenarnya yang paling dikhawatirkan dari kejadian Bank Century adalah pengaruh dari sistem ekonomi pasar bebas, yang dapat menghalalkan segala cara asal tujuan dapat tercapai. Penelikungan terhadap pelanggaran moral dan etika dapat saja dilakukan dengan alasan yang dibuat selogis mungkin. Mafia perbankan seandainya ada di dalamnya dan ujung-ujungnya langkah korupsi sebagai akar segala masalah di Indonesia, maka pemecahannya memang perlu keberanian dan penanganan yang tepat. Tanpa korupsi dikurangi secara berarti di Indonesia, yang ada hanyalah kebohongan dan kemunafikan semata. Ujung-ujungnya hanya sekolompok kecil anggota masyarakat yang diuntungkan, sementara sebagian besar mayoritas masyarakat justru berada dalam kerugian. Penerapan sistem ekonomi pasar bebas di berbagai negara di dunia ini mendasarkan diri kepada pemikirannya Neoklasik. Aliran ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran Klasik yang dirintis oleh Adam Smith, di mana campur tangan negara boleh dikatakan tidak ada dalam urusan ekonomi, ditambah dengan penggunaan matematika dalam analisis ekonomi yang dilakukan.
Kegagalan Aliran Ekonomi Neoklasik Kegagalan Secara Filosofis
Aliran ekonomi Neoklasik sekarang begitu banyak diterapkan oleh berbagai negara di dunia ini, termasuk dalam sistem pengajaran ilmu ekonomi di berbagai bangku kuliah. Ciri khas dari aliran ekonomi Neoklasik adalah begitu dominannya pemakaian metode kuantitatif dalam melakukan analisis ekonomi. Kesuksesan sebagai ahli ekonomi berdasarkan suvai tersebut sangat tergantung kepada penguasaan akan matematika. Keadaan yang terjadi ini mengakibatkan banyak ahli ekonomi lebih menguasai alat dari pada substansi. Akibat kumulatif berikutnya fenomena ekonomi yang begitu penting sering terlepas dari pandangan para ekonom, karena kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan sangatlah dangkal dan kering mirip hasil analisis seorang ahli matematika atau statistika daripada ahli ekonomi, yang sebenarnya tetap merupakan ilmu sosial.
Kebiasaan penggunaan alat analisis kuantitatif sebenarnya tidak terlepas dari kedekatan ilmu ekonomi dengan ilmu eksakta, di mana pendekatan ilmu ekonomi sudah relatif sama dengan ilmu eksakta, yaitu memakai pendekatan kuantitatif. Fenomena ekonomi dapat diketahui dengan menggunakan metode ilmu eksakta, dengan mengemulsi modelnya dan mengadopsi metaphoranya (Andres Clark, 1992). Terdapat anggapan tidaklah ilmiah suatu disiplin ilmu kalau tidak memakai pendekatan kuantitatif, maka tidaklah mengherankan kalau ilmu ekonomi mendapatkan julukan sebagai rajanya ilmu-ilmu sosial. Pendekatan kuantitatif yang dipakai dalam ilmu ekonomi seperti layaknya ilmu eksakta tidak terlepas dari paradigma positivisme. Keyakinan dasar dari paradigma positivisme berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas berada (exist) dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam (natural law). Penelitian berupaya mengungkap kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
NoengMuhadjir (2000) menyatakan menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empiri. Dalam perjalanan waktu sekarang ini berkembang pula paradigma post-positivisme, teori kritis bahkan konstruktivisme. Paradigma post-positivisme muncul sebagai perbaikan terhadap pandangan positivisme , di mana metodologi pendekatan eksperimental melalui observasi dipandang tidak mencukupi, tetapi harus dilengkapi dengan triangulasi, yaitu penggunan beragam metode, sumber data, periset dan teori. Teori kritis dalam memandang suatu realitas penuh dengan muatan ideologi tertentu, seperti neo-Marxisme, materialisme, feminisme dan paham lainnya. Paradigma konstruktivisme secara ontologis menyatakan realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan kepada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung kepada pihak yang melakukannya. Atas dasar pandangan filosofis ini, hubungan epistemologis antara pengamat dan objek merupakan satu kesatuan subjektif dan merupakan perpaduan interaksi di antara keduanya. Horgan (2005) menyatakan ilmu pengetahuan telah memasuki babak senja kala (kematian). Yasraf A. Piliang (2005) menyatakan paling tidak terdapat tiga makna kematian ilmu pengetahuan. Pertama, kematian sebagai suatu yang melampaui batas untuk menuju titik ekstrem, peleburan dan pencampuradukan (trans), dan kondisi tidak ada lagi objek (ilmu pengetahuan) itu sendiri.
Horgan lebih lanjut menyatakan ilmu pengetahuan sebagai wahana menemukan berbagai ‘kebaharuan’ (newness) dan pengalaman baru di masa depan berakhir, disebabkan ia bekerja terlalu sempurna, sehingga ia melampaui segala tanpa batas, yang di dalamnya tidak ada lagi kebaharuan yang dapat diharapkan, tidak ada lagi jajahan baru (frontier) yang dapat dieksplorasi, tidak ada lagi obyek ilmu pengetahuan yang dapat diteliti dan tidak ada lagi utopia masa depan yang bisa diraih. Ilmu pengetahuan meskipun demikian tentunya tidak benar-benar ‘mati’ dalam pengertian sebenarnya, akan tetapi ia kini hidup dengan ‘cara ironis’(ironic science), atau dengan cara ‘fatalistik’ (fatalistic science). Disebabkan ilmu pengetahuan telah kehilangan kekuatan kemajuan dan linearitasnya, kekuatan inovasi dan penemuan barunya, maka apa yang dapat dilakukan dalam ilmu pengetahuan adalah mencampur-adukkan segala hal yang ada, dalam sebuah kondisi turbelensi dan chaotic. Terjadi persilangan, pencampuran dan perkawinan kompleks antara ilmu pengetahuan dan bidang-bidang lainnya, seperti sastra, seni, atau agama.
Apa yang dikatakan Horgan ternyata selaras dengan Capra (2000) yang menyatakan kerusakan di dunia ini disebabkan oleh pandangan dunia mekanistis ilmu pengetahuan berdasarkan Cartesian dan Newtonian, dan untuk merubahnya ke masa depan yang lebih baik berdasarkan paradigma yang holistik tentang ilmu pengetahuan dan spiritualisme. Menurut Capra (2001) terdapat tradisi-tradisi mistik yang terdapat dalam setiap agama dan halqah-halqah mistikal itu bisa juga ditemukan pada banyak ajaran filsafat Barat. Paralel-paralel fisika moderen tidak hanya muncul dalam Veda Hinduisme, dalam I Ching, atau dalam sutra-sutra Budha, tetapi juga dalam fragmen-fragmen Heraclitus, dalam sufisme Ibnu Arabi, atau dalam ajaran-ajaran Don Juan, Sang Penyair. Kritik yang bertumpu kepada aliran ekonomi Neoklasik secara filosofis sebenarnya bertumpu kepada bias yang terlalu memutlakkan kepada paradigma positivisme, yang melihat realitas hanya dari sudut permodelan yang terlalu disederhanakan dengan bertumpu kepada analisis kuantitatif, ditunjang dengan pemakaian asumsi-asumsi yang sering tidak realistis. Realitas empiris yang terjadi merupakan refleksi dari kondisi deterministik serta hanyalah sebuah materi belaka dan bagaikan sebuah mesin, sehingga perbaikannya hanyalah bertumpu kepada unsur-unsur yang ada dalam mesin tersebut. Analisis yang terlalu sederhana dan steril ini pada kenyataannya bisa berlainan dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi.
Pemahaman dan tindak lanjut dari realisme empiris yang terjadi senyatanya bisa ditangkap oleh paradigma ilmu lainnya seperti post-positivisme, kritis maupun paradigma lainnya. Peninjauan secara holistik sangatlah diperlukan, melihat bahwa terdapat fenomena ”matinya ilmu” di mana studi secara partikularistik kurang kegunaannya secara aksiologi. Masa mendatang perkembangan ilmu akan menjurus kepada studi lintas ilmu di mana unsur spiritualitas terlebihlebih utamanya unsur moralitas harus mendapat porsi utama.
Kegagalan Sudut Sosial-Ekonomi
Sebenarnya peneliti Belanda yang bernama J.H. Boeke dalam disertasinya pada tahun 1910, telah menyatakan terdapatnya dualisme sosial- ekonomi pada masyarakat di Hindia Belanda (Indonesia). Satu sisi pada masyarakat yang maju (perkebunan yang dikuasai oleh Belanda) berlaku prinsip ekonomi yang berujung pada pengejaran keuntungan, akan tetapi pada masyarakat kebanyakan (petani) masih berpola subsisten di mana prinsip ekonomi boleh dikatakan tidak berlaku.
Menurut Boeke pada akhirnya pada negara-negara sedang berkembang memang perlu dikembangkan teori ekonomi tersendiri, yang berlainan dengan yang berlaku di negara maju (Barat). Pendapat Boeke ini banyak dikritisi olehpara pakar, salah satunya D.H. Burger (1973), yang menyatakan bahwa masyarakat petani akan mengalami perkembangan di mana prinsip ekonomi juga berlaku. Gunnar Myrdal yang dikenal sebagai salah satu ekonom aliran Kelembagaan dan memperoleh hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 1974 menyatakan teori ekonomi yang sekarang diajarkan dan diaplikasikan di seluruh dunia adalah berbasis kepada aliran Neoklasik yang cocok untuk negara maju.
Menurutnya teori ekonomi tersebut tidak dikembangkan untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi negara-negara terbelakang (sedang berkembang), oleh karenanya bagi negara sedang berkembang diperlukan teori yang lain dengan negara maju karena perbedaan masalah sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya. Tahun 1976 telah terbit buku yang berjudul Economics in the Future yang sebenarnya di dalamnya berisi ketidakpuasan terhadap ajaran ekonomi Neoklasik. Jan Tinbergen dan Gunnar Myrdal sebagai dua contoh penulis kenamaan di buku tersebut mengusulkan di masa mendatang hendaknya dapat dikembangkan ilmu ekonomi yang induktifempirik dan memperhatikan masalah kelembagaan (institutional). Omerod (1994) menulis buku tentang matinya ilmu ekonomi (the death of economics). Menurutnya, ilmu ekonomi yang mati adalah aliran Neoklasik, di mana dalam realitanya aliran ini tidak cocok karena banyak menyesatkan dan menyusahkan rakyat banyak. Campur tangan negara dengan kebijakan fiskal dan moneternya tetap diperlukan agar perekonomian suatu negara dapat berkembang dengan kesejahteraan yang relatif merata. Everett E. Hagen seorang pakar Ekonomi Pembangunan dalam sebuah artikel (1960) tentang perbandingan pembangunan di Asia, menyatakan Indonesia seharusnya merupakan negara industri termaju di Asia diikuti oleh India dan Cina, sedangkan Jepang menjadi negara yang paling tidak berkembang. Menurutnya, hal ini disebabkan Indonesia telah memiliki kontak dan keterbukaan terlama dengan institut-institut dan gagasan-gagasan Barat, sementara Jepang adalah yang tersingkat.
Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, di mana Jepang menjadi negara industri termaju di Asia, bahkan menjadi salah satu negara terdepan di dunia dalam perindustrian, sebaliknya Indonesia tetap menduduki rangking bawah di Asia. Menurut Hagen dari kenyataan yang terjadi tersebut membawa hikmah, bahwa faktor-faktor non ekonomi (seperti keyakinan-keyakinan religius, sikap kerja dan kesenangan, serta kriteria status sosial) harus sepenuhnya di masukkan ke dalam sistem teoritis sebagai variabelvariabel yang turut mempengaruhi variabel tergantungnya. Masalahnya, meskipun para ekonom menyadari pentingnya faktor non ekonomi, tetapi seperti layaknya Mark Twin menuduh setiap orang telah mengutak-atik ‘cuaca’ dan mereka telah membicarakannya, akan tetapi tidak melakukan apa pun dengannya. Amartya Sen yang memperoleh Nobel Ekonomi pada tahun 1998 telah mengembangkan dimensi etis dalam diskusi mengenai masalah-masalah ekonomi yang demikian vital. Hasil penelitian Sen (1981) membuktikan bahwa bencana kelaparan bukan cuma malapetaka alam, tetapi lebih merupakan hasil keruntuhan ekonomi dan politik. Melalui penelitian terhadap bencana kelaparan di Bengali, India, yang terjadi pada tahun 1943, ternyata telah menewaskan tiga juta jiwa. Persediaan pangan pada waktu itu di India tidaklah kekurangan, akan tetapi pemerintahannya pada waktu itu otoriter-diktatorial yang cenderung tidak terbiasa mempertimbangkan nilai-nilai individual di luar lingkup kekuasaanya. Menurutnya, bencana kelaparan tidak pernah muncul di negara yang bebas dan demokratik. Chapra (2001) menyatakan ekonomi konvensional memang telah memperoleh wibawa intelektual yang besar, akan tetapi bukanlah kecanggihan suatu disiplin ilmu yang menarik perhatian orang, melainkan kontribusi apa yang ditawarkan oleh disiplin ilmu tersebut pada kemanusiaan dalam upaya mewujudkan tujuan-tujuan umat manusia, yang pada puncaknya orang akan meletakkan keadilan dan kesejahteraan umum di atasnya. Ekonomi konvensional telah gagal dalam hal ini karena ketidaksukaan ekonomi ini pada penilaian berdasarkan norma, dan konsentrasinya yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan, pemuasan keinginan serta pemenuhan kebutuhan perorangan. Sejauh mencakup kepentingan sosial, para ekonom konvensional secara umum telah mengasumsikan bahwa persaingan akan membatasi kepentingan pribadi, dan karena itu mendorong terpenuhinya kepentingan sosial. Sekiranya bahasan ilmu ekonomi orientasinya pada kesejahteraan manusia, maka cakupannya tidak hanya terbatas pada variabel-variabel ekonomi saja, melainkan perlu memperhatikan masalah moral, psikologi, sosial, politik, demografi, dan sejarah. Muhammad Yunus peraih hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2006 telah mengkritik teori ekonomi dengan corak sistem pasar bebas seperti berlaku di negara AS sangat tidak cocok untuk mengatasi kemiskinan di negara sedang berkembang, sepertinya Bangladesh. Beliau (2007) mengembangkan konsep untuk mengatasi kemiskinan yang disebut kewirausahaan sosial (social entrepreneurship), yang berhasil membawa perubahan multidimensional pada masyarakat miskin khususnya kaum perempuan. Beliau merintis kredit mikro dan mendirikan Gremeen Bank pada tahun 1983.
Filsafat Grameen Bank adalah kepercayaan kepada kaum miskin. Melalui Grameen Bank dan modifikasi usaha yang dilakukan ternyata telah berhasil mengatasi kemiskinan , bahaya kelaparan dan bencana lainnya yang sering terjadi di negara Bangladesh. Levitt dan Dubner (2006) dengan bukunya Freakonomics berusaha membongkar sisi tersembunyi dalam berbagai hal dengan menggunakan metode yang tidak umum dipakai dalam ilmu ekonomi. Dia mempelajari ilmu ekonomi dengan cara non-ortodoks. Tampaknya dia melihat sesuatu tidak terlalu banyak dari aspek akademiknya, namum ia menempatkan dirinya sebagai seorang eksplorer yang cerdas dan penuh penasaran. Levitt memperoleh gelar sarjana dari Harvard dan Ph.D dari MIT dan sekarang mengajar ekonomi di University of Chicago. Beliau baru-baru ini memperoleh the John Bates Clark Medal, yaitu penghargaan setiap dua tahun sekali kepada ekonom Amerika terbaik yang usianya di bawah empat puluh tahun.
Mohammad Hatta (1976 dan 1979) banyak memberikan kritikan kepada ekonomi bebas, yang tidak lain yang paling menonjol adalah Neoklasik. Beliau menyarankan perlunya ekonomi terpimpin, di mana pemerintah harus aktif bertindak dan mengadakan berbagai peraturan terhadap perkembangan ekonomi dalam masyarakat agar tercapai keadilan sosial. Membiarkan perekonomian berjalan menurut apa yang dikatakan ”permainan merdeka dari pada tenagatenaga masyarakat” berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan yang kuat. Menurut beliau sendi utama bagi politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia terdapat dalam pasal 33 UUD 1945. Dasar perekonomian rakyat mestilah usaha bersama, dikerjakan secara kekeluargaan, yang tidak lain adalah koperasi.
Aliran Kelembagaan
Keberadaan aliran Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economics) merupakan reaksi dari ketidakpuasan terhadap aliran Neoklasik, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari aliran ekonomi Klasik. Menurut Hasibuan (2003) inti pokok aliran ekonomi Kelembagaan adalah melihat ilmu ekonomi dengan satu kesatuan ilmu sosial, seperti psikologi, sosiologi, politik, antropologi, sejarah dan hukum. Mereka merangkum hal tersebut dalam analisis ekonomi, namun demikian di antara mereka masih mempunyai ragam dan variasi pandangan. Pada garis besarnya mereka menentang pasar bebas atau persaingan bebas dengan semboyan laissezfaire dan motif laba maksimal. Landreth dan Colander (1994) membagi para tokoh ekonomi aliran Kelembagaan dalam tiga golongan, yaitu tradisional, quasi dan neo. Ahmad Erani Yustika (2006) membagi aliran kelembagaan ke dalam ilmu ekonomi Kelembagaan lama (’old’ institutional economics) dan ilmu ekonomi Kelembagaan baru (’new’ institutional economics). Mengkombinasikan kedua pandangan tersebut, pertama akan dikemukakan aliran ekonomi Kelembagaan lama, kedua quasi, dan yang ketiga aliran ekonomi Kelembagan baru. Seperti halnya para pemikir aliran tersebut, pembagian ini sifatnya relatif dalam artinya yang dikemukakan kemudian bukan berarti paling baik dan yang lama (tradisional) harus ditinggalkan, akan tetapi hanya dalam hal kesamaan fokus dan isu-isu pemikiran.
Disusun Kembali Oleh: AAN